Makna Kejahatan Terorisme : Akar Masalah dan Implikasinya

Telaah Antropologi Terorisme

Oleh: Albert WS Kusen

Tulisan ini bertujuan mengetahui isu dan makna terorisme, mengkaji akar permasalahannya serta menentukan implikasi kebijakannya. Diharapkan hasil kajiannya, ’bukan sekedar ’memukul udara dengan angin’ (nihil), tetapi secara konseptual dapat ditemukan solusinya sebagai acuan para pihak yang berwenang maupun yang peduli dengan permasalahan terorisme di tanah air. Pada bagian terakhir catatan ini dikemukakan pula apresiasi terhadap prestasi Densus 88 dan seputar isu hitam yang menerpanya.

(Sumber : www.bnpt.go.id)

Makna Terorisme dan Implikasi Kejahatan Kemanusiaan (Crime Humanity)
Istilah teror berasal dari bahasa Latin, terrere yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi to fighters. Artinya adalah suatu situasi yang dikondisikan sedemikian rupa agar menimbulkan rasa takut (mengancam nyawa manusia), dengan harapan diperhatikan oleh publik pada umumnya, dan khususnya pihak yang dijadikan sasaran teroris.

Sebagaimana aksi teror bom yang sering terjadi di Indonesia, diawali di depan kediaman Duta Besar Filipina Jakarta (tahun 2000), kemudian terjadi di tempat-tempat tertentu di Jakarta seperti di Atrium Senen, Bursa Efek, sejumlah Gereja dan lainnya pada malam Natal, dan pada tahun 2003 terjadi di Hotel JW Marriot. Aksi teror yang terjadi di luar Jakarta, seperti di Legian Kuta dan Jimbaran Bali (tahun 2002), selanjutnya secara berulang-ulang terjadi di Palu dan Poso. Sebagai informasi, di kota Manado, pernah diletakkan bom di dalam restauran Fried Chiken depan Markas Korem Santiago Sulut (daya ledaknya sama dengan yang terjadi di Kuta Bali), tapi tidak meledak. Dan terakhir, tepatnya pada hari Jumat, 17 Juli 2009 terjadi lagi aksi teror bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta. Semua aksi-aksi teror ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi mencekam sebagaimana yang diharapkan oleh pihak teroris dan jaringannya.

Tercatat puluhan bahkan ratusan korban bom dikalangan orang-manusia sipil yang tewas terpanggang hidup-hidup, dan puluhan mengalami luka bakar atau kena serpihan pecahan bom. Seperti dialami salah seorang perempuan korban bom di hotel JW Marriot pertama (2003), sambil mengerang kesakitan mengekspresikan kegeramannya, lewat liputan khusus Metro TV, “Saya tidak bisa terima kenyataan ini, siapapun mereka dari kelompok manapun, apapun alasannya melakukan teror bom adalah perbuatan iblis yang biadab serta mengerikan yang harus dikutuk. Ada ratusan orang sedang makan di restauran tempat saya bekerja, mereka itu bukan kambing, tapi manusia”. Inilah salah satu korban aksi teror bom yang mengekpresikan kesedihannya, kekesalannya, dan kegeragamnya. Sementara itu, korban lainnya tak bisa lagi bergerak dan berkata karena sekujur tubuhnya sudah gosong terbakar yang dijemput keluarganya dengan isak tangis pertanda sang korban sudah meninggal.

Dampak yang ditimbulkan. Sungguh aksi biadab teror bom, adalah suatu peristiwa yang tragis dan mengerikan, dimana dari segi manusiawi, apa yang dialami oleh korban teror bom menimbulkan efek psikologis yang sungguh tidak terperikan mengenang peristiwa teror bom yang pernah dialaminya. Sebagai anak bangsa, kita semua tentu sangat prihatin dengan aksi teror di Tanah Air yang justru dilakukan oleh warga negara Indonesia sendiri. Demikian juga menyangkut harkat dan martabat bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa beradab, agamis, penuh keramahtamahan, kini telah dicemari oleh aksi-aksi biadab (teroris). Sebab, berdasarkan analisis dampak dan implikasi yang ditimbulkan, secara signifikan sangat merugikan kepentingan nasional, seperti menurunnya devisa dari sektor pariwisata, kehilangan lapangan kerja, serta menyisahkan duka keluarga korban baik yang meninggal maupun yang cacat seumur hidup.

Dalam dialog malam SCTV (4/5/2011) mengenai matinya gembong teroris Osama Bin Laden, salah satu cendekiawan Muslim Prof. Dr. Azuari mengekspresikan kekesalannya atas dampak aksi-aksi jihad yang mengatasnamakan agama Islam, bahwa salah satu dampak yang merugikan umat Islam di Tanah Air adalah terjadinya stigmatisasi negatif terhadap orang Islam sendiri ketika hendak bepergian ke luar negeri, khususnya di bandara internasional diperlakukan seperti buronan penjahat yang mesti diinterogasi oleh aparat keamanan setempat.

Akar Permasalahan: Telaah Antropologi Terorisme
Bahwa para pelaku aksi teror yang beroperasi di Indonesia ada hubungan dengan gerakan Al-Qaeda yang dipelopori oleh Osama bin Laden (OBL), maka dapat dikatakan para pelaku itu adalah kelompok radikal-fanatik, dimana tujuan politik mereka secara antropologis telah terkonstruksi secara sosial (doktrinasi fundamentalisme ideologi agama yang sangat primordialistik).

Makna primordialisme. Didefinisikan oleh Gerrtz (1973, primordialisme adalah: “sesuatu yang ditakdirkan (given) atau dimana seseorang terikat secara moral dan oleh berbagai rasa tanggung jawab yang timbal balik pada anggota-anggota kerabatnya, tetangganya, sesama penganut agamanya, setidak-tidaknya primordialitas tersebut sebagian besar terwujud oleh adanya kesadaran moral atas sesuatu kemutlakkan yang penting atau utama yang tidak dapat diperhitungkan secara untung rugi semata-mata, diatributkan pada ikatan dirinya sendiri”.
Primordialitas adalah sesuatu yang utama, yaitu perasaan yang dimiliki orang per orang berkenaan dengan kehadirannya atau kehidupannya di dunia ini sebagai suatu takdir bahwa dia dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga dan kerabat, keyakinan keagamaan, bahasa, berbagai adat istiadat serta sistem-sistem makna yang ada dalam kebudayaannya, yang dirasakan sebagai dunia kehidupannya yang utama karena tidak dapat dipisahkan dari dirinya, bukan hanya dalam hal-hal yang rasional, tetapi juga mencakup keseluruhan rasa yang dipunyainya.

Sebagai bagian hakiki dari postmodern, fundamentalisme dalam teologi dan antropologi/sosiologi agama diidentifikasi sebagai seteriologi eksklusivitas (tidak mengakui kebenaran ajaran atau agama lain; dan lebih membenarkan/melegitimasi ajaran/dogma mereka serta perilaku atau aksi-aksi dan menyalahkan ajaran lain). Prinsip mereka negara dan agama itu satu, maka wajib diperjuangkan ajaran/dogma agama ke dalam sistem pemerintahan negara (lihat Sumakul 2006). Makanya tidaklah mengherankan ketika OBL dan antek-anteknya pernah menyatakan untuk membunuh semua orang yang tidak se-iman dengan mereka (Others).
Argumentasi umum yang sering diungkapkan oleh pihak tertentu, bahwa kecenderungan kaum radikal ini, melakukan kekerasan, serta menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, pada umumnya mengatakan, bahwa kelompok radikal tersebut melakukan aksi teror bom karena adanya ketidakadilan yang terjadi di dunia ini, dimana negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat (kebetulan berlatar belakang Kristiani dan Yahudi), disamping mereka mendomonasi ekonomi dunia, juga dalam kebijakan politik Timur Tengah (isu konflik Palestina dan Israel) cenderung membela kepentingan Israel, termasuk dalam pemberian bantuan persenjataan. Hal ini memicu semangat solidaritas primordialisme agama dihubungkan dengan ada rasa frustrasi dikalangan kaum radikal ini atas kekuatan budaya (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang dimiliki negara-negara adidaya tersebut ketika mereka harus bertarung dalam menuntut keadilan.

Implikasinya terhadap bangsa kita yang berpenduduk mayoritas Islam, khususnya di kalangan organisasi-organisasi Islam, a.l  seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), HTI dsb secara terbuka memberi reaksi ‘keras’ terhadap AS Negara adidaya atas intervensi konflik Timur Tengah (membantu Israel). Betapa konflik Palestina ‘dinilai mewakili Islam, dan Israel mewakili ‘Kristiani dan Yahudi’. Rasa kemarahan dan kebencian terhadap Zionis Israel, AS dan sekutunya, telah dirasuk sejak tahun 1967, di mana secara historis keuntungan atau kemenangan selalu berada di pihak Israel (akar kebencian). Apalagi dengan adanya intervensi–pendudukan pasukan Amerika Serikat dalam perang teluk: pembebasan Kuwait, penangkapan presiden Sadham Husein dan para teroris yang terkait dengan jaringan Al-Qaeda/Taliban (Osama Bin Laden) atas seluruh wilayah Irak dan Afghanistan sampai sekarang ini. Rasukan kemarahan dan kebencian ini akhirnya mengkristal menjadi ideologi solidaritas primordialisme bagi kelompok-kelompok radikal Islam yang tersebar baik di Timur Tengah (Arab Saudi, Libanon, Siria, Irak); di Afrika (Mesir, Libya, Sudan, Maroko, Aljazair) maupun di Asia (Afghanistan, Iran, Malaysia dan Indonesia).

Sehubungan dengan itu, khususnya di negara-negara Timur Tengah (Arab Saudi, UFA, Irak, Yaman, Afghanistan dan Pakistan) dan dan beberapa negara Afrika (Aljazair dan Mali), rezim pemerintahan disana demi kepentingan nasional mereka tidak mengenal kompromi menghadapi kelompok-kelompok radikal teroris yang didukung oleh Al-Qaeda. Seorang tawanan teroris yang dianggap sebagai milisi bersenjata tidak diperlakukan seperti militer yang harus dilindungi berdasarkan aturan internasional (Jenewa). Jadi ketika tawanan tersebut disiksa dianggap wajar karena teroris adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas.

Catatan: Kelompok-kelompok teroris di Indonesia telah tersebar di beberapa provinsi/daerah, meliputi: 1) Jatim-Lamongan; 2) Jateng-Solo, Semarang; 3) Jabar-Bandung, Banten, Serang; 4) Sumatra: Pekanbaru, Medan, Bengkulu, Padang; 5) Sulawesi: Makasar dan Palu; 6) Jakarta. Tokoh2 nya selain ada yang sudah divonis mati (Amrozi cs), sudah ditangkap dan masih buron.

Khususnya konflik Palestina – Israel, apabila dilihat secara objektif sesungguhnya bukan konflik agama, melainkan persoalan teritori atau wilayah yang terjadi sejak Inggris memprakarsai kemerdekaan Zionis Israel pada tahun 1947. Lagi pula pejuang-pejuang Palestina bukan hanya kaum Muslim tapi juga ada yang beragama Kristen (salah seorang toloh radikalnya, George Habbash adalah seorang Kristen Ortodoks-Yunani), makanya tidak mengherankan kota Betlehem tempat kelahiran Isa Almasih (Yesus Kristus) oleh pemerintah Israel diserahkan kepada Palestina (Arab-Kristen) menjadi bagian dari wilayah otonominya.

Munculnya sosok OBL sebagai aktor di balik peristiwa 11 September 2001 di New York AS, menambah spirit ideologi solidaritas primordialisme dikalangan kelompok-kelompok radikal Islam Al-Qaeda-Taliban dan Al-Jamaah Islamiah. Osama menyerukan deklarasi perangnya, kepada tim moralnya, yakni: “Declaration of War by Osama bin Laden, together with leaders of the World Islamic Front for the Jihad Againts the Jews and the Crussaders, that is we – with God’s help – call on every Muslim who believes in God and wishes to be rewarded to comply with God’s order to kill the Americans and plunder their money wherever and whenever their find it. We also call on the Muslim Ulema (community), leaders, youths and soldiers to launch the raid on Satan’s US troops and the devil supporters ally-ing with them and to displace those who are behind them so that they learn a lesson” (Al-jabhah al-Islamiyyah Liqital al-Yahud Wal-Salibbiyyin, Afghanistan, Februari 23, 1998) dalam Kaligis (2003).

Kalau memang demikian deklarasi perang dari OBL tersebut, “There is god’s order to kill” (perintah Allah untuk membunuh), maka bukan saja dunia hukum, tetapi semua orang akan mengatakan Allah adalah Pembubuh! Kita lihat betapa beraninya OBL sebagai manusia ciptaan Allah yang memberi dan membiarkan dirinya hidup, berani memanipulasi nama Allah hanya sekedar untuk memberi justifikasi (pembenaran) kepada tindakan terorisnya, membunuh. Konsep dan doktrin ini benar-benar dimanifestasikan oleh pelaku bom Bali Imam Samudra, dikatakan “Saya tidak takut dihukum mati, karena apa yang selama ini saya lakukakan telah berada di jalan Allah, dan sesuai dengan ajaran Islam; dengan dihukum (vonis) mati, mendekatkan saya dengan Allah” (Komentar 12/8/2003).

Strategi menghalalkan segala cara.  Munculnya aksi-aksi perampokkan akhir-akhir ini, berdasarkan fakta di lapangan, ternyata ada pembenaran ajaran agama untuk menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan cita-cita kaum radikal-fundamentalis melalui aksi-aksi perampokan (toko emas dan bank). Bukankah ajaran menghalalkan segala cara adalah bagian dari cara berpikir pragmatis orang Barat (machiavelian)? Apa dasar iman keyakinan agama atas perlakuan biadab menghalalkan segala cara ini (rampok) yang disertai dengan adanya korban pembunuhan?

Inilah akar masalah yang telah terkonstruksi secara psiko-ideologis para teroris, “Bahwa tindakan membunuh merupakan perintah Allah; tindakan menghalalkan segala cara adalah perintah agama”. Sungguh sangat menakutkan tindakan teror mereka tersebut yang kini sudah menjadi crime againts humanity. Sebab kasus teror bom yang terjadi di WTC New York, AS bukan saja yang menjadi korban manusia non-Muslim, tetapi juga dari kalangan umat Islam sendiri (terbanyak pekerja dari Bangladesh dan Libanon), serta yang terjadi di Bali dan Hotel JW Marriot Jakarta belum lama ini adalah manusia-manusia lintas agama/etnik/ras yang ‘tidak tahu apa-apa’.
Dalam konteks moral (budaya dan agama) maupun hukum, seperti apa yang telah disinggung diatas aksi-aksi teror tersebut adalah suatu angin kebohongan yang terbuat dari uap racun kekeliruan yang menyesatkan; serta merupakan penghinaan yang fantastis terhadap makna Allah Yang Maha Besar yang disembah oleh semua umat (agama) manusia di dunia ini, bukanlah Allah pembunuh! Tapi adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Sebagaimana eksistensi keimanan manusia yang diyakini sebagai makhluk ciptaan Tuhan, memiliki kewajiban mutlak untuk mematuhi hukum kasih yang diajarkan oleh Isa-Almasih, ‘hendaklah kamu mengasihi Allah dengan segenap hati/jiwamu, dan dengan segenap akal budimu; serta ‘mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’. 

Demikian juga dikemukakan oleh Abdul M. Mulkhan (Kompas 10/12/1999), dalam Surat Ibrahim, “Tuhan berfirman bahwa “Dia hanya akan mencintai manusia yang memeluk agama-Nya jika manusia itu mencintai manusia sesamanya. Tuhan juga mengatakan bahwa “Dia akan menolong manusia yang memeluk agama-Nya hanya jika manusia itu bersedia menolong manusia sesamanya. Lebih lanjut dikemukakan oleh Mulkhan “Siapakah sesamanya itu tidaklah terbatas hanya mereka yang seagama atau paham keagamaannya sama”.


Apresiasi
Berkenaan dengan kerja profesional Tim Detasemen Khusus (DENSUS) 88 MABES POLRI membongkar jaringan terorisme di Indonesia dan berhasil menangkap sejumlah gembong terorisnya, menunjukkan bahwa makna simbol 88 (garis delapan tidak terputus yang diartikan bahwa pengejaran terhadap pelaku-pelaku teroris di Tanah Air tidak akan dihentikan sampai kapanpun dan dimanapun), mampu diaplikasikan dalam tindakan. Untuk itu, sudah sepantasnya diberikan apresiasi-aktualisasi (penghargaan-pujian) demi terciptanya keamanan di Indonesia.

Bahwa entah yang menyebarkan isu hitam (bohong/fitnah) terhadap kinerja Densus 88; didramatisir (tube) sedemikian rupa seakan-akan Densus 88 telah melakukan pelanggaran HAM berat  adalah para pihak pendukung terorisme,  sungguh sangat memprihatinkan. Untuk masalah ini, sebaiknya siapa pun si penyebar isu hitam melalui jejaring media sosial (u-tube) harus ditangkap, mengingat makna isu hitamnya tergolong kejahatan komunikasi (cyber-crime) yang tidak kalah jahatnya dengan pelaku-pelaku aksi terror.

Implikasi
Seperti diketahui bahwa pada era reformasi ini telah terjadi reduksi makna nilai demokrasi. Sebagaimana hal ini dimanfaatkan oleh para radikalis untuk melakukan aktivitas konsolisi menggalang solidaritas, melakukan aksi demo dengan membawa senjata tajam, membentuk laskar-laskar sambil melakukan latihan perang ala militer secara terbuka, serta terjun dalam kancah konflik horizontal bernuansa SARA di Ambon, Poso dan Halmahera, tanpa ada halangan dari aparat setempat. Padahal mantan Presiden Gus Dur sudah menginstruksikan untuk menangkapnya (ada larangan setelah daerah-daerah konflik tersebut diberlakukakan darurat sipil). Dibandingkan dengan keadaan di negeri tetangga kita, seperti Malaysia, Singapura dan di negara-negara ASEAN lainnya memiliki kebijakan hukum Internal Security Act (ISA), yang digunakan untuk menangkal segala gerakan kelompok-kelompok radikal yang ’dicurigai’ akan melakukan aksi teror. Itulah sebabnya dokter Azhari dan  Nurdin Top tidak ada nyali melakukan aksi teror di negeri jiran tersebut. Bahwa kelemahan aparat keamanan kita, khususnya POLRI dalam mencegah aksi teror yang tidak diperkuat dengan payung hukum ISA tersebut. Demikian juga Badan Intelejen Nasional (BIN) tidak diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan khusus dalam menangkal gerakan teroris.

Sebagai implikasinya antara lain dipandang perlu dan mendesak kepada para pihak (eksekutif, legislatif, dan aparat terkait), dan masyarakat untuk segera menentukan langkah-langkah kebijakan. Diskursus kebijakan yang penting untuk disampaikan adalah sebagai berikut:

1) Mendesak diberlakukannya kebijakan hukum Internal Security Act (ISA) bagi aparat kita (BIN dan unsur-unsur intelijen TNI & POLRI) sebagaimana yang diterapkan pada negara-negara tetangga kita (Singapura dan Malaysia), mengingat masih ada tokoh maupun anggota-anggota teroris yang belum tertangkap. Tentunya mempraktekkan ISA harus se-profesional dan seakurat mungkin dalam mengoperasionalkan sumber informasi intelijen agar terhidar dari ‘mal-operation’, mengingat dasar dari kebijakan ISA ini ditekankan kepada upaya pencegahan.

2) Mendiskomunikasikan (blok semua akses informasi) deklarasi perang yang dicanangkan oleh Osama Bin Laden pada tanggal 23 Feruari 1998 di Afghanistan yaitu “There is God’s order to killl (’perintah OBL untuk membunuh bukan perintah Tuhan, tapi  ’fatwa setan’). Sebab sebagai umat manusia-sesama anak bangsa, kita semua yakin bahwa yang benar adalah ”Perintah Allah untuk Hidup Damai di bumi nusantara Indonesia yang tercinta ini.

3) Jaring strategi komunikasi antar pihak (perhotelan, komunitas mulai dari tetangga, lingkungan, kelurahan/desa, organisasi, taksi, ojek, dll), di mana kesemua pihak ini harus berkoordinasi dengan pihak aparat terkait (polisi dan BIN setempat), terutama untuk mencegah adanya penyebaran jaringan teroris dan pihak yang melindunginya.

4) Menata secara akurat administrasi kependudukan (kartu penduduk) agar tidak rentan untuk dimanipulasi. Hal ini memungkinkan aparat setempat (pemdes/kelurahan) mengetahui identitas setiap ada tamu atau orang-orang tertentu yang tidak dikenal.

5) Merevitalisasi makna spirit kebangsaan melalui media pendidikan formal dan informal, bahwa yang namanya teroris adalah musuh bersama. Adalah lebih bijaksana berempati kepada masalah sosial, politik dan ekonomi dalam negeri (sesama anak bangsa), daripada bangsa lain.

6) Memberdayakan masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi yang selama ini dirasakan telah terjadi ketimpangan sosial. Yang miskin semakin miskin, dan kaya semakin kaya. Ini juga merupakan bagian dari akar permasalahan yang turut memicu rasukan kebencian dan kemarahan para teroris atas hegemoni kapitalisme (neolib) sebagai neo-kolonialisme di Indonesia.

7) Mencegah masih jauh lebih berarti ketimbang operasi tindakan memberantas aksi-aksi terorisme. Salah satu strategi pencegahannya adalah menindak siapapun penebar isu hitam yang sengaja membunuh karakter (demoralisasi) aparat Densus 88; penebar isu SARA di masyarakat baik melalui mimbar agama maupun melalui media-media jejaring sosial (cyber-crime).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengolahan Limbah pada PT Sinar Sosro

14 Asas Ilmu Lingkungan

Kisah Kasih di Sekolah