Guncangan Gojek dalam Meretas Ikatan Sosial
… Sebagai Jalur Difusi
Inovasi di Indonesia.
Inovasi dalam teknologi
bisa membuat pekerjaan diselesaikan dengan lebih murah dan cepat. Kondisi
inilah yang selalu diinginkan manusia. Delman saja … kalau lebih cepat dari
ojek dan lebih murah tarifnya, bisa saja akan menyalip Gojek. Persis seperti
yang konon dibayangkan Henry Ford :
“If
I had asked people what they wanted, they would have said faster horses”.
― Henry Ford
Dari pinggir jalan
seberang Mal Ambassador terpampang sebuah reklame Gojek yang sedang gencar
berpromosi untuk mengubah nasib. Siapa mau? Begitu kira-kira lambaian ajakan
reklame tersebut. Melihat reklame ini, mengingatkan saya pada momen jaman
dahulu, saat orang tua saya berkisah tentang seorang pemuda yang sedang bersiul
sambil kerja nyapu-nyapu di rumah dengan tenang, sekonyong-konyong ada orang
lewat depan rumah menawarkan kerja kantoran. Seperti dapet rezeki nomplok.
Secara psikologis, manusia termotivasi dari satu
keinginan hingga jutaan keinginan yang tidak tuntas. Yang namanya pekerjaan
tidak akan pernah berubah, selalu tidak ada habisnya. Apa yang ditawarkan oleh
teknologi sekarang adalah tawaran bantuan dalam menyelesaikan beragam pekerjaan
kita yang makin lama, sialnya kok makin tambah banyak dan ruwet. Satu urusan
selesai masih ada saja lagi yang menanti untuk dikerjakan, dan harus secepatnya
beres.
Kehadiran
Gojek Vs Pangkalan Ojek
Tarif Gojek yang lebih murah daripada ojek di pangkalan
telah menyentak banyak individu di Indonesia untuk mencoba sebagai pengguna,
dan kemudian beropini atas jejak Gojek dan pangkalan ojek. Gojek yang hadir
dengan aplikasi smartphone membawa
teknologi pada tatanan ‘dunia’ ojek yang sebelumnya belum terlalu terjamah
kemajuan teknologi. Pangkalan ojek adalah wujud budaya kehidupan masyarakat
Indonesia yang komunal dengan motivasi mencari kemapanan hidup dari hasrat
bekerja manusia yang tak pernah selesai. Cepatnya perkembangan dan adopsi
teknologi di masyarakat lantas menghadirkan keramaian opini publik yang
meragukan budaya ojek pangkalan. Tapi, dengan biaya ongkos Gojek yang lebih
murah dibanding ojek pangkalan, tidak berarti biaya dari gaya hidup dan konflik
sosial yang terjadi menjadi murah bukan? Mengingat telah terjadi konflik yang
menyebabkan para tukang ojek pangkalan di banyak wilayah melakukan konfrontasi
dan boikot terhadap armada Gojek, maka timbul opini yang bias terhadap teknologi
dan gaya hidup untuk menyindir para tukang ojek pangkalan yang melakukan boikot
terhadap Gojek. Tentu saja, ini menjadikan konflik sosial dari Gojek menjadi
tidak murah.
Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (Perceived divergence of interest), atau
suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak tertentu tidak dapat dicapai secara
simultan. — Pruit dan Rubin D (2009).
Pengusaha mempunyai alasan untuk mengadopsi teknologi
dalam memenuhi kebutuhan gaya hidup pelanggannya, seringkali dengan melanggar
semua batas wilayah dan tatanan sosial yang ada serta megesampingkan ikatan
sosial yang ada, demi bisa lebih maju daripada pesaingnya. Kenapa perusahaan
seperti itu? Karena pelanggan tidak peduli jika perusahaan melanggar keadilan
sosial lalu menimbulkan konflik atau tidak. Investornya juga tidak peduli bahwa
duit mereka dibakar untuk merusak ikatan sosial. Bahkan bagi mereka meraup
kesejahteraan eksklusif dari konflik sosial adalah cara terbaik untuk meraup
kepentingan bersama. Kepentingan dia, mereka, gaya hidup dan ekosistemnya. Tekanan
muncul terhadap Gojek karena dianggap telah mengorbankan tradisi ikatan sosial
dari pangkalan ojek dan model bisnisnya dihadang oleh regulasi pemerintah.
Di sisi lain kehadiran Gojek juga memberikan dampak baik,
karena tak bisa dipungkiri bahwa jejak inovasi Gojek telah dikenali masyarakat
Indonesia dan dijadikan gagasan untuk para individu dan pemerintah untuk
berinovasi dibidangnya masing-masing.
Tantangan
Penciptaan Ikatan Sosial dan Kapital Sosial tanpa Konflik
Tidak seperti kemunculan teknologi lainnya, Gojek justru
menciptakan sektor lapangan kerja baru, sedang keberadaan teknologi lainnya
justru cenderung menghilangkan peran manusia dalam pekerjaannya. Sebagai
contoh, ada loh karyawan bank yang mengundurkan diri dan memilih bekerja
sebagai supir Gojek. Dalam hal ini, Gojek telah mengembangkan kapital sosial
baru untuk menjembatani ikatan sosial yang lemah antara penumpang dan tukang
ojek. Walaupun misalnya Gojek hari ini telah menyentuh batasan pertumbuhannya
dan sudah tidak lagi menjadi tren gaya hidup, laju inovasi akan terus melesat.
Gojek sebagai gaya hidup bisa saja runtuh dalam hitungan hari ke depan, namun
inovasi yang dibawanya akan terus melaju dalam hitungan eksponensial. Ini
terjadi saat makin banyak orang yang saling berhubungan dalam hamparan jaringan
data yang menciptakan ikatan sosial dan kapital sosial baru, tanpa ada tembok
jalan buntu dari batasan wilayah.
Saya menilai ada beberapa tantangan dalam hal penciptaan
ikatan sosial dan kapital sosial agar dapat melakukan inovasi dalam revolusi
sektor transportasi tanpa konflik, yang ujungnya dapat mengubah nasib rakyat
Indonesia menjadi lebih bermakna dari sekedar menjadikannya sebagai gaya hidup
:
Bagaimana menciptakan ikatan sosial baru yang berpusat
kepada peningkatan kapasitas dan potensi individu serta menempa rasa
tanggung-jawab? Ikatan sosial yang tak hanya menjanjikan sesuatu lebih cepat,
lebih baik, lebih murah, namun juga menjanjikan kapasitas individu yang lebih
sehat, lebih ramah, lebih disiplin, lebih cerdas, lebih bijaksana. — Dimana
saat ini mengubah nasib dijanjikan lebih cepat dan lebih mudah oleh Gojek.
Bagaimana mengembangkan kapital sosial sebagai jembatan
lemahnya ikatan sosial antara masyarakat dengan pemerintah dalam penyediaan
transportasi publik yang nyaman bagi masyarakat. — Di sini Gojek dapat berperan
sebagai katalis dalam penciptaan kapital sosial yang baru.
Tantangan-tantangan mewujudkan revolusi transportasi telah
menjadi hal yang menarik untuk dijadikan studi strategi inovasi. Kita sekarang
hidup di era stagnovation dimana laju inovasi di semua sektor, termasuk sektor
publik seperti transportasi, tidak bisa sekedar menunggu hadirnya car-free day di akhir pekan setiap
minggunya dan terlalu lama jika harus mengikuti polemik upah minimum regional
di Indonesia untuk akhirnya bisa dijadikan gagasan menaikkan kesejahteraan
buruh. Tanpa bisa dihambat, konsentrasi eksklusifitas pengetahuan yang dikuasai
oleh komunitas akhirnya menjadi terbuka distribusi aksesnya untuk
seluas-luasnya menciptakan ikatan sosial dan mengembangkan kapital sosial baru.
Dibandingkan fenomena global dari stagnovation yang mengacu pada middle income, maka Indonesia
mungkin akan mengalami yang lebih buruk lagi daripada itu. Secara vulgar
seorang guru besar Prof. Anwar Nasution telah menulis di Jakarta Post 20
Agustus 2015 bahwa Indonesia bisa saja terperangkap ke dalam jebakan low-middle income.
A Deteriorating Economy Amid
Distorted Policies
The
economy is deteriorating as the government incompetently responds to three
current negative external shocks. …. (The Jakarta Post)
Saat mendengar hati bicara, transportasi adalah barang
publik, yang kalau saya sih maunya digratiskan saja. Keberadaan Gojek merupakan
refleksi dari bagaimana seharusnya pemerintah menyediakan transportasi publik,
yang daripada dinaikkan terus karena faktor BBM, lebih baik digratiskan
sekalian untuk publik. Pemerintah juga perlu memikirkan banyak alternatif
daripada hanya kepincut bisikan tim suksesnya untuk sekalian saja membuat
aplikasi transportasi seperti Gojek yang dimiliki oleh pemerintah, hanya untuk
menyaingi Gojek. Apakah mungkin pemerintah Indonesia telah bertransformasi dari
regulator menjadi investor pasca dibentuknya Forum Konvergensi? Bagaimana
dengan kemungkinan dicobanya skema Public
Private Partnership dalam sektor transportasi publik untuk bisa
meningkatkan pelayanan kepada publik? Tanpa perlu bingung, pemerintah dapat
berperan penting dengan menciptakan banyak pilihan skema regulasi, lalu memilih
skema yang terbaik demi tercapainya redistribusi pendapatan dalam masyarakat,
yang nantinya menciptakan nilai-nilai dan kapital sosial baru yang dapat
mengubah nasib rakyat Indonesia serta memperkuat ketahanan nasional.
Komentar
Posting Komentar