Sunda Wiwitan sebagai Agama Asli Masyarakat Sunda
Memahami Fenomena Sunda Wiwitan Masa Kini
Oleh
: Ira Indrawardana
Dosen
Antropologi FISIP UNPAD, warga AKUR (Adat Karuhun Urang Sunda) Cigugur Kuningan
– Jawa Barat.
(Sumber : photo.liputan6.com)
Secara
antropologis, terdapat perspektif bahwa sistem kepercayaan atau religi
mengalami perkembangan evolutif dari animisme, dinamisme, totemisme hingga
monoteisme. Masyarakat awam cenderung memahami bahwa dimensi religius dalam
konsep “agama” sebagai konsepsi puncak dan perkembangan sistem kepercayaan yang
berkembang dalam kehidupan manusia. Benarkah demikian?
Pertanyaannya
kemudian di manakah atau bagaimanakah posisi “agama minoritas” atau “sistem
kepercayaan” lain yang seolah belum terakomodasi dalam ruang publik secara
setara bahkan diperlakukan diskriminatif, seperti halnya para kaum penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan kepercayaan atau “agama adat”.
Sunda
Wiwitan sebagai “Agama Adat”
Sunda
Wiwitan adalah penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat
keturunan Sunda”. Meski penamaan itu tidak muncul oleh komunitas penganut Sunda
Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan
individu Sunda yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan
ajaran leluhur Sunda.
Masyarakat
Kanekes, Kasepuhan Adat Banten Kidul (Ciptagelar dan kampung adat sekitarnya),
Kampung Adat Cireundeu-Leuwi Gajah Cimahi, Kampung Susuru Ciamis, Kampung Pasir
Garut dan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) di Cigugur Kuningan adalah
beberapa komunitas di jawa Barat yang masih memegang teguh ajaran- ajaran Sunda
Wiwitan ini. Secara administratif untuk membedakan seseorang atau warga
komunitas yang memeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini dengan lainnya biasanya
dalam kolom agama di KTP (Kartu Tanpa Penduduk) tidak mencantumkan agama semit
atau agama “luar” negeri (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dsb).
Biasanya
kolom agama pada KTP para penganut Sunda Wiwitan dikosongkan atau terdapat
tanda (-) atau ada yang ditulis (tulis tangan atau diketik) Sunda Wiwitan saja.
Kondisi ini terjadi bagi mereka yang “kukuh” tidak mau dituliskan nama agama
selain yang dianutnya (Sunda Wiwitan). Padahal pihak aparat pembuat KTP
terkadang menyarankan (bahkan cenderung memaksa) untuk mengisi kolom agama
dengan nama agama-agama yang
(katanya)
diakui pemerintah (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan
Konghucu). Tidak jarang pula ada yang mengaku menganut Sunda Wiwitan sementara
dalam kolom agama dalam KTP-nya masih ada ketikan nama agama ”luar”.
Keyakinan
Sunda Wiwitan yang secara administratif tidak tertulis atau dikosongkan pada
kolom agama di KTP itu sama halnya dengan mereka yang mengaku “agama-agama
adat” nusantara seperti parmalim, pelebegu, kaharingan, kejawen, aluk ta dolo
dsb. Kondisi ciri administratif seperti ini karena negara masih “pilih kasih”
atau diskriminatif dalam perlakuan administrasi kenegaraan dan pemerintahan.
Padahal
sebelum adanya agama-agama “luar”, keyakinan agama Sunda Wiwitan sudah ada.
Bahkan sistem keyakinan Sunda Wiwitan seolah tidak berhak/dilarang menyandang
“gelar” atau titel “agama” karena konsep “agama hanya berlaku bagi agama-agama
luar (yang dianggap jelas memiliki kitab tertulis, Nabi, Tuhan, ritus dan
sebagainya). Sementara itu Sunda Wiwitan sering dikategorikan sebagai
“kepercayaan” atau “aliran kepercayaan”, bahkan tidak jarang yang menilai
sebagai “aliran sesat” oleh penganut agama ”luar”.
Kenyataan
ini sudah sekian lama terjadi dan menjadi momok bagi warga adat ataupun non
adat generasi Sunda yang “mikukuh” ajaran budaya spiritual leluhur Sunda ini
sejak terjadinya akulturasi dan asimilasi dengan ”budaya spritual pendatang”
dari luar. Sampai
saat
ini kenyataan terjadinya diskriminasi horizontal atau diskriminasi sosial
(pelecehan,
penghinaan,
pemfitnahan terhadap penganut Sunda Wiwitan) dan diskriminasi vertikal atau
diskriminasi yang berupa kebijakan-kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang
diskriminatif terhadap kaum Sunda Wiwitan masih berlangsung.
Agama
Sunda Wiwitan tidak pernah dan memang tidak melakukan propaganda agama atau
syiar atau missionaris, karena memang ”bukan agama misi”, bahkan sesungguhnya
tidak mudah orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Karena agama
ini banyak dianut dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan sistem
serta bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Sunda maka Sunda Wiwitan
sebagai sistem keyakinan atau “agama” hanya bagi mereka yang secara genealogis
adalah Suku Sunda.
Pertanyaannya
kemudian, apakah orang suku Sunda boleh menganut keyakinan Sunda Wiwitan?
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang penduduk Kanekes yang berasal
dari daerah Kaduketug (suatu nama daerah di wilayah Kanekes), mengatakan bahwa
“ieu mah agama kami batur mah meunang. Sababna teu meunang soteh pedah pedah
kami ge can karuhan bisa ngalaksanakeun flu bener tina agama kami (baca; Sunda
Wiwitan)”.
Artinya
dan hasil wawancara itu bahwa Sunda Wiwitan sebagai agama atau keyakinan
masyarakat Kanekes adalah hanya diperuntukkan bagi kalangan mereka saja, dan
orang lain selain yang berasal dari lingkungan mereka tidak boleh menganut
Sunda Wiwitan. Adapun alasan tidak boleh menganut Agama Sunda Wiwitan dikatakan
bahwa karena jangankan orang lain (selain orang Kanekes) boleh menganut
keyakinan tersebut, orang Kanekes sendiri pun belum tentu bisa
mengimplementasikan ajaran Sunda Wiwitan dengan benar.
Di
balik pernyataan itu tersirat bahwa orang Kanekes atau penganut Sunda Wiwitan
tidak berniat untuk menyebarkan ajaran Agama Sunda Wiwitan, bahkan sampai
mengajak orang lain menganut Sunda Wiwitan. Hal demikian karena Agama Sunda
Wiwitan “bukan agama misi atau syiar” yang orang lain boleh sembarangan
menganutnya.
Kemudian
dari pernyataan itu (dan hasil wawancara selanjutnya dengan orang Kanekes
tersebut) bahwa mereka sesungguhnya sangat menghormati keyakinan atau Agama
lain selain Sunda Wiwitan. Hal ini juga berkaitan pula dengan prinsip sikap
orang Kanekes dalam kaitannya dengan “budaya luar” atau sistem (tidak akan
menjajah keyakinan “luar” (selain Sunda Wiwitan) bahwa mereka “embung dijajah
jeung moal ngajajah” pengaruhi dan tidak mau dijajah (dipengaruhi)” karena
sudah merupakan tugas mereka (orang Kanekes) untuk tetap mempertahankan tradisi
leluhur apa adanya.
Keteguhan
orang Kanekes sebagai penganut Sunda Wiwitan dalam mempertahankan tradisi dan
budaya spiritual leluhur mereka apa adanya itu sesuai dengan prinsip keteguhan
mereka bahwa “lojor tea meunang dipotong pondok tea meunang disambung” (secara
harfiah berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
Penganut
Sunda Wiwitan tidak memandang jelek kepada agama lain, bahkan tidak merasa
sebagai saingan kompetisi penyebaran, karena sebagaimana tadi dikemukakan bahwa
agama Sunda Wiwitan sesungguhnya tidak bertujuan untuk “disebarkan” kepada
orang lain. Hal ini mengacu pada dasar pemahaman bahwa Agama Sunda Wiwitan ada
sejak adanya “manusia Sunda” diciptakan oleh “Nu Ngersakeun” atau “Sang Hiyang
Keresa” atau Gusti Pangeran Sikang Sawiji wiji” (istilah causa prima bagi
penganut Sunda Wiwitan). Dengan demikian keberadaan Agama Sunda Wiwitan pada
hakekatnya diperuntukkan bagi mereka yang “merasa” dan “rumasa” berkepribadian
sebagai keturunan (genealogis) “darah Sunda” (meski hal ini pada kenyataannya
tidak mengikat secara ketat).
Pemahaman
bahwa agama Sunda Wiwitan tersebut tidak untuk “dipropagandakan”, juga memiliki
implikasi pemahaman bahwa dalam ajaran Sunda Wiwitan menghormati kebenaran
ajaran agama dan kepercayaan lain dan memahami bahwa setiap umat manusia yang
berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa di muka bumi ini memiliki agama dan
kepercayaannya masing-masing. Mereka sendiri berpendapat bahwa jangankan
“kepikiran” untuk mengajak orang lain menganut agama mereka (Sunda Wiwitan),
karena mereka sendiri pun sebagai penganut keyakinan Sunda Wiwitan belum tentu
sanggup secara sungguh-sungguh menjalankan keyakinan agamanya tersebut.
Bagi
penganut Sunda Wiwitan umumnya dan Orang Kanekes khususnya, dalam agama Sunda
Wiwitan menitikberatkan kepada masalah “tuah” (amal, perbuatan). Agama mereka
(Sunda Wiwitan) menekankan kepada apa yang harus dilakukan sebagai manusia,
cenderung lebih tertutup untuk mempermasalahkan atau memeperdebatkan pada “apa
yang mereka percayai”.
Hal
ini karena bagi warga penganut Sunda Wiwitan bahwa Yang Dipercayai (yang
diimani) itu bukan untuk diperdebatkan, yang penting bagaimana melaksanakan
“pikukuh” atau aturan kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat
pada masing-masing “wewengkonnya” atau wilayahnya. Masyarakat Kenekes
mendasarkan aturan “pikukuh” itu pada “Tri Tangtu” (tata wilayah aturan
berdasarkan wilayah ke-Rama-an, ke-Resi-an, ke-Ratu-an), sedangkan pada
masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) Sunda di Cigugur Kuningan, “aturan
pikukuh” yang dimaksud dikenal dengan “Pikukuh Tilu”.
Komentar
Posting Komentar