Pengalaman Mengikuti Pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat 2015: Bagian I
Halo youngster, kali ini aku akan sedikit
bercerita tentang pengalamanku pada saat mengikuti pemilihan Dubas Jabar pada
tahun 2015 kemarin. Walaupun ceritanya udah lewat hampir setahun yang lalu (berdasarkan
tahun dibuatnya tulisan ini) dan udah agak lupa-lupa ingat, setidaknya
pengalamanku ini jadi juga tertuang kedalam sebuah tulisan, YEAAY!! (padahal
niat bikin ini sih dari zaman kapan :( huhu).
Selain itu, berhubung pemilihan Dubas Jabar 2016 akan segera diadakan
kembali, jadi apa salahnya untuk sedikit berbagi pengalaman kepada para youngster semua, syukur-syukur ceritanya
bisa menginspirasi hahaha.
Oke, sebelum aku
cerita mungkin youngster disini ada
yang masih belum tahu apa itu Dubas? Dubas atau Duta Bahasa merupakan sebuah
ajang pemilihan pemuda-pemudi yang cinta dan peduli akan bahasa, terutama
bahasa Indonesia. Pemilihan Dubas ini mungkin hampir sama dengan pemilihan
Putra-Putri Wisata yang ada di masing-masing daerah seperti Mojang-Jajaka di
Jawa Barat, Abang-None di DKI Jakarta, Bujang-Gadih di Sumatera Barat, dan pageant-pageant serupa lainnya. Nah, hal
yang membedakan pemilihan Dubas sama pageant
yang lain sudah tentu bisa dilihat dari nama acaranya itu sendiri, dimana
Dubas lebih berorientasi kepada kebahasaan. (Terus kalau yang gak cinta dan gak
peduli sama bahasa gak bisa jadi Dubas? Hmm yakin gak cinta dan gak peduli sama
bahasa? Padahal kita bisa komunikasi sehari-hari karena adanya bahasa lho!
ckck.
Logo Duta Bahasa |
Pemilihan Dubas
dimulai dari tingkat provinsi, karena aku tinggal dan asli dari Jawa Barat
makanya aku ikut pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat. Ya, pada saat itu pesertanya
hanya boleh penduduk asli Jawa Barat. Tapi jangan khawatir, karena mulai tahun
2016 ini terjadi revisi terhadap aturan tersebut sehingga bagi kalian yang
bukan asli dari Jawa Barat tapi tinggal di Jawa Barat, tetap bisa mengikuti
pemilihan Dubas yang ada di Jawa Barat, asalkan memenuhi persyaratannya. (Bisa dilihat di akun
sosmed resminya yaa).
Pertama kali liat poster pemilihan Dubas ini di
salah satu laman pencarian info-info lomba. Waktu itu sekitar pertengahan bulan
Juni 2015, sambil harap-harap cemas nunggu hasil SBMPTN aku mencari pengalihan
isu supaya gak terlalu kepikiran. Maklum, ujian saringan masuk PTN tersebut
adalah yang kedua kalinya aku ikuti (Aku lulusan 2014, dan pada saat itu aku
sudah berstatus sebagai mahasiswa di universitas swasta yang ada di Depok), makanya
rasanya itu sungguh luar biasa karena pada saat itu aku masih belum menemukan
kenyamanan di jurusan dan perguruan tinggi yang sedang aku jalani itu. (Lain waktu akan kuceritakan bagaimana perjalananku dalam mendapatkan perguruan tinggi).
Dan akhirnya ketemulah sama poster pemilihan Dubas ini.
Poster Pemilihan Dubas Jabar 2015 Sumber: https://twitter.com/dutabahasajabar |
Awalnya sempet males
juga buat ikutan pemilihan tersebut, karena salah satu persyaratannya adalah
harus membuat esai sebanyak 3 halaman dengan berbagai persyaratan didalamnya.
Duh, mager banget wkwkwk. Sampai
akhirnya di H-6 batas pengumpulan esai, aku mencoba untuk mengalahkan rasa kemageran ini dan mencoba untuk menulis
esai dengan tema yang saat itu aku pilih adalah “Penguatan Bahasa Daerah
sebagai Jati Diri Budaya dan Kearifan Lokal”. Dan dalam dua hari, akhirnya esai
tersebut dapat kuselesaikan. Begitulah aku yang merupakan salah satu orang
dengan tipe kepribadian deadliners yang
selalu menggunakan jurus The Power of
Kepepet hahaha. Meskipun aku merasa sudah membuat esai yang terbaik
semampuku, tapi tetap saja ada sedikit rasa tidak percaya diri apalagi jika membayangkan
karya esai milik orang lain yang mungkin sudah dipersiapkan dengan sangat baik jauh-jauh
hari sebelumnya. Tapi, pena sudah terlanjur bercumbu dengan kertas (padahal mah
esainya juga diketik wkwk) dan esai sudah siap untuk diterbangkan melalui
gelombang elektromagnetik, jadi pilihannya hanyalah...............Kirimkan saja
lah.
Selamat datang
Agustus, tampaknya kau datang bersama setumpuk jadwal Ujian Akhir Semester. Ya,
UAS sudah mulai menyelimuti kampusku, dan selama satu bulan tersebut aku akan
disibukkan dengan mempelajari kembali materi-materi kuliah yang sudah aku
dapatkan selama satu semester ini. (UAS di kampusku selama satu bulan, namun
tidak satu bulan penuh melainkan memiliki jeda beberapa hari yang kadang
jedanya itu sampai satu minggu).
Sekitar pukul 2 siang (aku lupa hari dan tanggalnya) tiba-tiba ponselku
berdering dan kulihat ada nomor telepon dengan kode lokal area yang berawalan +6222
menelpon, dan memberitahukan bahwa aku lolos di tahap awal dan diharuskan
mengikuti babak penyisihan 100 besar yang akan dilaksanakan di Hotel Harris
Ciumbuleuit Bandung. Wow, aku sangat kaget sekali. Aku tidak menyangka bahwa
jurus The Power of Kepepet yang pada
saat pembuatan esai kemarin aku gunakan bisa membawaku untuk pergi ke Bandung,
ya ke Bandung. Lalu bagaimana dengan UAS-ku? Sontak saja aku langsung mengecek
jadwal ujian, dan Alhamdulillah ternyata jadwal ujianku tidak ada yang bentrok
dengan jadwal penyisihan tersebut. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke Bandung
sehari sebelumnya dan menginap di salah satu kost temanku yang dekat dengan
kampus ITB.
Di babak penyisihan
100 besar, terdapat dua tahap pengujian. Yang pertama adalah tes UKBI (Uji
Kemampuan Berbahasa Indonesia). Tes tersebut bertujuan untuk mengetahui
kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa Indonesia. Mungkin bagi yang pernah
mengikuti tes TOEFL/IELTS, tes UKBI ini hampir sama seperti tes tersebut namun
dengan versi bahasa Indonesia. Sebelum mengikuti tes UKBI ini, kami diberi tips
oleh kakak-kakak Dubas angkatan sebelumnya bahwa kunci keberhasilan dalam
mengikuti tes ini adalah tenang, konsentrasi, dan ikuti semua petunjuk yang diberikan.
Karena banyak orang yang gagal pada tes UKBI ini karena mereka terlalu percaya
diri sehingga tidak mengikuti petunjuk dengan baik. Selama tes berlangsung,
aku mencoba mengikuti tips yang diberikan oleh kakak-kakak Dubas tersebut dan
sebisa mungkin untuk tidak sok tahu dalam menjawab soal. Aku juga sempat
mengunduh aplikasi UKBI yang aku dapatkan secara gratis di internet dua hari
yang lalu, dan berlatih dengan mencoba menjawab soal-soal yang diberikan.
Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan tes tersebut dengan baik, walaupun ada
beberapa bagian yang rasanya aku mengerjakan dengan asal-asalan karena dikejar
oleh waktu pengerjaan yang cukup singkat. Setelah tes tersebut selesai, kami
diberi waktu istirahat untuk melaksanakan salat bagi yang muslim dan juga diberi
waktu untuk makan siang. Pada jam makan siang tersebut aku berkenalan dengan
beberapa peserta lain yang berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang sudah
lulus S1 bahkan S2, ada yang pandai dalam menggunakan lebih dari satu bahasa
asing, ada yang pernah mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri, ada yang
dulunya juara ataupun finalis pemilihan pageant-pageant
serupa, ada juga yang sudah pernah lolos di tahap awal pemilihan Dubas ini
tetapi gagal pada babak penyisihan 100 besar, kebanyakan mereka sudah memiliki
‘jam terbang’ dan pengalaman yang luar biasa, namun bagiku ini adalah pertama
kalinya aku mengikuti ajang pemilihan seperti ini dan dibandingkan mereka aku
merasa seperti butiran debu :’( hiks hiks..
Suasana pada saat babak penyisihan 100 besar (Tes UKBI) Sumber: https://twitter.com/dutabahasajabar |
Suasana pada saat babak penyisihan 100 besar Sumber: https://twitter.com/dutabahasajabar |
Setelah itu, acara dilanjutkan kembali dengan
tes tahap kedua yaitu membuat esai. Jujur, pada tahap ini aku lebih degdegan
daripada tes tahap sebelumnya, karena disini para peserta harus membuat esai dengan
3 bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing
dengan waktu pengerjaan selama 90 menit. Selain itu, kita juga diharuskan
memilih tema yang sudah disediakan panitia, yang baru diberi tahu satu menit
sebelum tes berlangsung. Pada saat itu aku menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa wajib, bahasa Sunda sebagai bahasa daerah, dan bahasa Inggris sebagai
bahasa asing. Aku memilih bahasa Sunda karena aku terbiasa berbicara
dengan bahasa Sunda dan aku juga cukup menguasai Aksara Sunda sehingga aku
dapat menulis Aksara Sunda dengan baik. Selain itu, aku memilih bahasa Sunda
juga karena setahuku hanya bahasa Sunda yang ada di Jawa Barat, namun ternyata aku
baru tahu bahwa selain bahasa Sunda ada juga bahasa Cirebon dan bahasa Melayu
dialek Betawi, sedangkan aku memilih bahasa Inggris sebagai bahasa asing karena
untuk saat ini aku baru menguasai bahasa Inggris, itupun belum terlalu fasih
sehingga aku cukup khawatir dalam membuat esai berbahasa asing. Kamipun diberi
tips lagi oleh kakak-kakak Dubas bahwa penilaian tahap ini selain melihat dari
segi kualitas esai, dilihat juga berdasarkan konsistensi dari masing-masing
esai, karena biasanya para peserta menulis esai bahasa Indonesia sebanyak satu
halaman penuh polio bahkan lebih, pada esai bahasa daerah sudah mulai menyusut
menjadi setengah halaman, dan pada esai bahasa asing lebih menyusut lagi hanya
menjadi beberapa paragraf saja. Untuk itu, konsistensi peserta dalam membuat
esai sangat diperhatikan pada tahap ini.
Aku kembali mencoba untuk mengikuti tips yang
diberikan oleh kakak-kakak Dubas tersebut, namun tampaknya pada tahap ini aku benar-benar
diuji. Benar saja, esai bahasa Indonesiaku hampir satu halaman penuh polio,
esai bahasa Sundaku sudah mulai menyusut beberapa paragraf, dan esai bahasa
Inggrisku hanya sebanyak setengah halaman polio saja, itupun dengan tata bahasa
yang menurutku sangat acak-acakan.
Setelah semua tes babak penyisihan 100 besar
selesai dilaksanakan, barulah kepala ini rasanya ingin pecah apalagi melihat
hasil kerjaan esaiku, ditambah lagi cerita dan kemampuan para peserta lain yang
luar biasa, sepertinya tidak ada harapan bagiku untuk melaju ke tahap 30 besar.
Mungkin perjuanganku selesai sampai disini, ya sudahlah.
Selamat tinggal, Bandung!..............
.
.
.
Apakah ucapan selamat tinggal kepada Bandung pada saat itu benar-benar tanda salamku yang terakhir? Ataukah justru sang Bandung menolak salamku dan memanggilku kembali?
SIMAK CERITA LANJUTANNYA DISINI !!!
.
.
.
Apakah ucapan selamat tinggal kepada Bandung pada saat itu benar-benar tanda salamku yang terakhir? Ataukah justru sang Bandung menolak salamku dan memanggilku kembali?
SIMAK CERITA LANJUTANNYA DISINI !!!
Big thanks buat experience yang akang sharing disini. Saya rencananya mau ikut serta nih di dubas jabar pelajar, mohon doanya ya kang. Btw, saya dari sukabumi juga. Dari blog ini saya jadi tau apa yang terjadi pas di karantina atau masuk final. Makasih ya kang udah sharing :)
BalasHapusHalo Ale, terimakasih sudah berkunjung. Semangat ya mengikuti pemilihannya, berikan yg terbaik! Hehe
HapusTerimakasih banyak kang untuk share pengalamannyaa ...
BalasHapus