Genosida, sebagai Kasus Pelanggaran HAM yang Tertinggi
Genosida, sebagai Kasus Pelanggaran HAM yang
Tertinggi
Keanekaragaman pada hakikatnya merupakan suatu kelebihan yang
dimiliki umat manusia. Perbedaan itu bisa berupa apa saja. Baik perbedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, tempat tinggal, warna kulit, bahasa ataupun budaya.
Masing-masing perbedaan tersebut memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing.
Namun justru perbedaan inilah yang menjadi bibit perselisihan. Sepanjang
sejarah dunia pada umunya, dan Indonesia pada khususnya, perselisihan kerap
kali terjadi pada dua kelompok yang memiliki perbedaan. Banyak sekali perbedaan
yang menjadi cikal bakal perselisihan ataupun permusuhan besar-besaran. Tetapi
dalam banyak kasus, perbedaan etnis atau budaya merupakan salah satu yang
paling sering menjadi sorotan. Perbedaan ini sering menjadi awal pertikaian
yang sangat sulit untuk dihentikan bahkan hingga turun temurun.
Indonesia yang dikenal dengan keanearagamannya yang luar
biasa tentu saja tidak dapat luput dari berbagai kasus perselisihan antar dua
kelompok budaya. Perselisihan semacam ini kerap terjadi dalam berbagai bentuk.
Mulai dari perebutan hak milik atas suatu benda, tanah, hingga perkelahian
fisik yang menyebabkan korban dari kedua belah pihak. Namun terkadang
perselisihan semacam ini bisa berkembang terlalu jauh dan menyimpang dari apa
yang biasanya terjadi. Perselisihan antar etnis atau budaya ternyata mampu
berkembang menjadi suatu tindakan agresif yang membuat pelakunya bertindak
diluar batas bahkan dikategorikan kriminal berat. Kategori kriminal tertinggi
dari perselisihan macam ini adalah pembantaian besar-besaran terhadap suatu
etnis tertentu. Hal ini pernah beberapa kali terjadi di masa silam, baik di
Indonesia ataupun negara lain. Pembantaian ini menyebabkan banyaknya korban yang
berjatuhan dan kerugian materil maupun immateril. Pembantaian semacam ini biasa
juga dikenal dengan istilah “genosida” atau pembantaian massal.
Genosida secara umum didefinisikan sebagai sebuah
pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap suatu suku bangsa atau
kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Genosida
merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Sedangkan
pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan agresi.
A.
Kasus Genosida yang Terjadi di Indonesia
Indonesia sebagai negara kesatuan
yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak
sekali budaya yang terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki
ratusan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan
suatu kelebihan namun tidak menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis
yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari
berbagai kasus genosida yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia:
1. Pembunuhan massal di Bandanaira (Pulau Banda)
tahun 1621 oleh Belanda pada zaman Jan Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk
bekerja. Akibat pembunuhan tersebut belanda terpaksa mendatangkan budak dari
Negara dan daerah lain. Jumlah pasti tidak diketahui, dalam kesaksian disebut
hampir semua penduduk meninggal, sebagian kecil melarikan diri.
2. Pembantaian pada zaman kerja tanam paksa setelah
Perang Jawa (1825-1830) dibawah kepemimpinan Jenderal Van den Bosch.
3. Tragedi pembantaian Jepang di Kalimantan. Tidak
hanya kaum pro-kemerdekaan yangg dibunuh tetapi juga para pemuka agama, pemuka
golongan dan para raja di zaman itu.
4. Tragedi 1965. Setelah gerakan G30S PKI terjadi,
gerakan ‘membersihkan’ komunis menggelora dimana-mana. Militer dikerahkan ke
seluruh negeri. Mereka yang dianggap mendukung komunis, dibantai, ditangkap,
disiksa dan dibuang tanpa pernah ada pengadilan yang adil dan bukti yang jelas.
Kebanyakan dari mereka yang ditangkap adalah buruh dan petani.
5. Tragedi Mei 1998 dimana etnis Tionghoa mengalami
pembantaian, pengrusakan properti, pemerkosaan dan penculikan.
6. Kerusuhan Sampit (Februari 2001) Kalimantan
Barat, antara suku Dayak dan Suku Madura.
B.
Kasus Genosida Internasional
Selain di Indonesia, dunia memiliki sejarah sendiri tentang
terjadinya genosida. Sebagian kasus diantaranya adalah :
1. Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada
milenium pertama sebelum Masehi.
2. Pembantaian
bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke-1 SM.
3. Pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa
Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia sejak abad ke-7.
4. Pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika
oleh para penjajah Eropa semenjak tahun 1492.
5. Pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh
Britania Raya semenjak tahun 1788.
6. Pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok
Turki pada akhir Perang Dunia
7. Pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan
Roma) dan suku bangsa Slavia oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
8. Pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur
pada akhir Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet
di sebelah timur garis perbatasan Oder-Neisse.
9. Pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh
rezim Khmer Merah pada akhir tahun 1970-an.
10. Pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam
Hussein Irak pada tahun 1980-an.
11. Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari 1982
sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya.
12. Pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur oleh
milisi Janjaweed di Sudan pada 2004. Pembantaian ini dianggap Genosida oleh
pemerintah Amerika Serikat namun dianggap tidak oleh PBB.
13. Pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di
Yugoslavia oleh Serbia antara 1991 - 1996. Salah satunya adalah Pembantaian
Srebrenica, kasus pertama di Eropa yang dinyatakan genosida oleh suatu
keputusan hukum. Pembantaian massal yang terjadi di Bosnia–Herzegovina
merupakan salah satu dari banyak contoh genosida yang telah terjadi selama ini.
Peperangan yang berawal dari perbedaan cara pandang mereka dalam memahami
keyakinan dan kepentingan satu sama lain berujung pada peristiwa pembantaian
massal yang dilakukan oleh tentara ultra nasionalis serbia terhadap etnis Bosnia
yang mayoritas Islam. Ketika peperangan berlangsung banyak dari tentara ultra
nasionalis yang melakukan kekejaman tiada tara seperti pembunuhan terhadap
penduduk sipil (terutama warga muslim), pemerkosaan massal, pemindahan penduduk
secara paksa, dan pengrusakan fasilitas umum. Dalam bukunya yang berjudul “The First Casuality”, Philip Knightley
berujar : “Korban pertama perang adalah kebenaran, pihak yang saling baku bunuh
selalu berprinsip bahwa alasan mereka berada di garis depan adalah untuk
membela kebenaran’’. Pembantaian penduduk sipil di Bosnia telah menjadi saksi
sejarah yang teramat penting dan menyakitkan bagi umat Islam di dunia.
14. Pembantaian Rwanda, pembantaian suku Hutu dan
Tutsi di Rwanda pada tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu. Dari sekian banyak
kasus Genosida yang terjadi, kasus Rwanda merupakan salah satu kasus genosida
yang sangat bernuansa etnis. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu
Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15.
Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Dan Twa,
yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang
tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi.
Rwanda
merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah
suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia. Jika dilihat sekilas
hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang
dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu
di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku
yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna
kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki
ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki
kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan
pesek. Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk
menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu.
Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan
yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang
lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya
merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu
domba kedua suku ini.
Hal
inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, ke iri hatian,
dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Setelah beberapa tahun kemudian,
tepatnya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan
timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk
membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches” (cockroach :
kecoa), dan menyamakan mereka tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk
dibantai. Dengan sandi “Lets Cut All the
Trees!” mereka memulai pembantaian itu. Bahkan ketika pada bulan Juli 1994,
beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, presiden Rwanda yang baru
saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi,
dibunuh dalam pesawatnya yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu
sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita
bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai
yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal.
Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal KTP warga negara Rwanda yang
dimana di KTP tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan
Tutsi.
Dengan
tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu
semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku
Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan hampir
50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di
pihak Tutsi oleh “Tutsi Rebels”.
Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah
500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto
akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para
perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu di bunuh. Mereka diperlakukan tidak
manusiawi. Mereka dilempari batu, diperkosa dan dikandangkan.
C.
Penyelesaian dari Kasus Kejahatan Genosida terkait dengan Peraturan
Perundang-undangan.
Berdasarkan uraian kasus kasus diatas, dapat terlihat bahwa
genosida yang terjadi khususnya antar kelompok etnis berkembang dan pecah bukan
hanya karena perilaku menyimpang dari kedua belah pihak yang memanfaatkan rasa
etnosentris pada diri mereka untuk melakukan hal yang tidak manusiawi, tetapi
ada juga faktor dari luar kelompok yang menyebabkan itu bisa terjadi.
Menurut Berger, cara pengendalian terakhir dan tertua
adalah dengan paksaan fisik. Pada kasus kerusuhan Sampit maupun kasus Rwanda,
bentuk pengendalian yang dilakukan adalah dalam bentuk fisik. Hal ini dilakukan
karena kategori penyimpangan yang dilakukan masyarakat sudah memasuki kategori
kriminal berat yang direncanakan oleh kolektif. Bentuk pengendalian yang diambil
pun lebih kuat yaitu melalui militer pemerintahan yang turun langsung dan
menghentikan tindakan genosida secara langsung dan fisik. Dalam kasus Rwanda
khususnya yang merupakan peristiwa cukup besar, militer yang digunakan untuk
mengendalikan sebagian besar berasal dari luar negeri dimana pasukan-pasukan
perdamaian berdatangan dari berbagai negara untuk menghentikan tragedi
kemanusiaan abad 20 itu
Disamping itu, baik di Indonesia
maupun internasional telah ditetapkan hukum-hukum tentang keberlangsungan hidup
(HAM) pada umumnya dan perlindungan terhadap kelompok masyarakat dan golongan
baik etnis atau bukan. Di Indonesia pengadilan HAM berkedudukan di daerah
kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara
Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Akan tetapi Pengadilan HAM
tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM
meliputi kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7a : “Setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara: Membunuh anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; Menciptakan kondisi kehidupan
kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya; Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain; Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
di dalam kelompok; “
Dunia internasional sendiri merujuk
peraturan HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan organisasi
dunia dan dibentuk dengan alasan utama hak asasi manusia. Kekejaman dan genosida
setelah Perang Dunia II menyebabkan munculnya konsensus bahwa organisasi baru
ini harus bekerja untuk mencegah tragedi serupa di masa mendatang. Tujuan awal
adalah menciptakan kerangka hukum untuk mempertimbangkan dan bertindak atas
keluhan tentang pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa hak 370 juta masyarakat
adat di seluruh dunia juga merupakan suatu fokus untuk PBB, dengan deklarasi
tentang hak-hak masyarakat adat yang disetujui oleh Majelis Umum pada tahun
2007. Deklarasi ini menguraikan hak-hak individu dan kolektif untuk budaya,
bahasa, pendidikan, identitas, pekerjaan dan kesehatan, menyikapi isu-isu
pasca-kolonial yang dihadapi masyarakat adat selama berabad-abad. Deklarasi
tersebut bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat dan mendorong pertumbuhan
adat, budaya institusi dan tradisi. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi
terhadap masyarakat adat dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam hal-hal
yang menyangkut masa lalu, masa sekarang dan masa depan mereka.
Meski bisa dilakukan tindakan
pengendalian, perlu juga dipahami bahwa tindakan pencegahan akan jauh lebih
baik jika tindakan pencegahan juga dilakukan sejak awal. Jika menilik kasus
genosida bernuansa etnis diatas, dapat terlihat bahwa masalah antar dua
kelompok bertikai dimulai dari ketidakcocokan dan prasangka yang berkembang
menjadi streotip negatif tertentu. Diversifikasi etnis yang dilakukan pihak
luar ataupun pemerintah juga menjadi salah satu penyebabnya. Dan yang paling
utama adalah tidak terselesaikannya urusan hukum secara tuntas antara kedua
belah pihak yang berseteru sehingga salah satu pihak atau keduanya memilih
untuk bertindak secara agresif untuk mendapat keinginannya. Karena itu tindakan
pencegahan yang paling penting adalah berasal dari pemerintah sebagai pihak
yang memiliki kuasa lebih.
Tindakan pencegahan yang paling utama adalah memastikan
apabila ada kasus antar dua kempompok etnis, proses hukum berjalan dengan
sebagaimana mestinya sesuai peraturan yang berlaku dan tanpa memihak salah
satunya. Dengan berjalannya proses hukum yang baik, akan menimbulkan
kepercayaan terhadap hukum sehingga jika ada suatu pertikain baik bernuansa
etnis ataupun tidak, kelompok-kelompok tersebut akan mempercayakan
penyelesaiannya kepada hukum pemerintah bukannya malah bertindak agresif dan
menyimpang. Tindakan pencegahan berikutnya adalah memastikan
peraturan-peraturan yang ada sudah cukup meng-cover segala hak dan kewajiban serta perlindungan bagi masyarakat
etnis tanpa mendahulukan atau menkhususkan etnis manapun. Dengan adanya
peraturan tersebut, masyrakat etnis akan merasa aman dan tidak akan terpicu
untuk membuat tindakan sendiri tapi menjadikan peraturan pemerintah sebagai
rujukan pertama. Kedua pencegahan diatas sangat penting untuk menghindari
eskalasi konflik yang mungkin terjadi antar dua kelompok etnis terutama di
Negara Indonesia yang terdiri dari ribuan suku bangsa berbeda. Penting bagi
Indonesia untuk memiliki peraturan dengan status hukum yang kuat tentang
keberadaan ettnis-etnis yang berbeda dalam kawasaanya. Tugas pemerintah lah
untuk memastikan semua peraturan dijalankan dengan sesuai.
Selain pencegahan dari pihak luar, anggota kelompok etnis
sendiri pun perlu menumbuhkan rasa toleransi terhadap etnis lain sebagai salah
satu langkah merubah pola pikir atas prasangka maupun stereotip etnis tertentu
yang kerap kali menjadi awal permusuhan antar etnis. Stereotip-stereotip yang
berkembang seperti suku Minang yang perhitungan, suku Batak yang kasar ataupu
suku Jawa yang kaku dan konservatif sebenarnya bisa dihapuskan. Harus ada
pemahaman di kalangan semua masyarakat terutama masyarakat yang masih menganut
nilai-nilai etnis tertentu bahwa stereotip bukanlah penilaian mutlak untuk
keseluruhan mayarakat etnis tertentu. Sehingga tidak ada anggapan bahwa etnis
tertentu adalah lebih baik dari etnis lainnya. Sikap saling toleran dan terbuka
dengan perbedaan tentunya mampu menumbuhkan sikap saling menghormati antar
etnis sehingga tidak akan terjadi pertikaian hingga tindakan seperti genosida.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar