Kasus-kasus Penyimpangan dan Kegagalan Demokrasi di Indonesia

Kasus-kasus Penyimpangan dan Kegagalan Demokrasi di Indonesia

          Indonesia tengah dilanda berbagai masalah yang kompleks. Sistem demokrasi yang seyogyanya menghasilkan masyarakat yang bebas dan sejahtera tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang. Berikut ini adalah beberapa fenomena kegagalan demokrasi di Indonesia.
1. Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan kebijakannya
          Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat posisi presiden kuat dalam arti sulit untuk digulingkan. Namun, di parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang mengusung pemerintah. Ditambah lagi peran legislatif yang besar pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan presiden. Dalam memberhentikan menteri misalnya, presiden sulit untuk memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus” menteri tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya akan semakin memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden sulit mengambil langkah kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.

2. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat justru di tengah kebebasan demokrasi
          Tingkat kesejahteraan menurun setelah reformasi, yang justru saat itulah dimulainya kebebasan berekspresi, berpendapat, dll. Ini aneh mengingat sebenarnya tujuan dari politik adalah kesejahteraan. Demokrasi atau sistem politik lainnya hanyalah sebuah alat. Begitu pula dengan kebebasan dalam alam demokrasi, hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan.

3. Tidak berjalannya fungsi partai politik
          Fungsi partai politik paling tidak ada tiga: penyalur aspirasi rakyat, pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama, dan sarana pendidikan politik masyarakat. Selama ini dapat dikatakan ketiganya tidak berjalan. Partai politik lebih mementingkan kekuasaan daripada aspirasi rakyat. Fungsi partai politik sebagai pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya partai politik yang konsisten dengan ideologinya.
          Partai politik sebagai sarana pendidikan politik masyarakat lebih parah. Kita melihat partai mengambil suara dari masyarakat bukan dengan pencerdasan terhadap visi, program partai, atau kaderisasi, melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama sekali tidak mencerdaskan malah membodohi masyarakat.

4. Ketidakstabilan kepemimpinan nasional
          Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mulai dari Soekarno sampai Gus Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir dengan bahagia. Semua berakhir tragis alias diturunkan. Ini sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka. Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana merasionalisasikan harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan tentang proses dalam merealisasikan harapan dan tujuan nasional.
          Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan value.

5. Birokrasi yang politis, KKN, dan berbelit-belit
          Birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu Korpri dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar. Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan. Jika birokrasi tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang memegang pucuk kebijakan, maka dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya karena birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan tersebut memihak pada partai lain. Akibatnya kebijakan tinggal kebijakan dan tidak terlaksana. Leibih parahnya, ini dapat memicu reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk stabilitas pemerintahan. Maka seharusnya birokrasi itu netral.
          Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh kecil adalah pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan ketidakpercayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi karena adanya kapitalisasi birokrasi. Hal tersebut mendorong pada birokrasi yang tidak rasional. Kinerja menjadi tidak profesional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip yang digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.

6. Banyaknya ancaman separatisme
          Misalnya Aceh, Papua, RMS, dll. Ini merupakan dampak dari dianaktirikannya daerah-daerah tersebut semasa orde baru, yang tentunya adalah kesalahan pemerintah dalam “mengurus anak”. Tentunya ini membuat ketahanan nasional Indonesia menjadi lemah, mudah diadu domba, terkurasnya energi bangsa ini, dan mudah dipengaruhi kepentingan asing.

A. Penyimpangan Demokrasi yang Berjalan di Indonesia
1. Demokrasi Perlementer (Liberal)
          Demokrasi Perlementer di pemerintahan kita telah dipraktekkan pada masa berlakunya UUD 1945 periode pertama (1945-1949) kemudian dilanjutkan pada masa berlakunya Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS 1950. Pelaksanaan Demokrasi Parlementer tersebut secara yuridis resmi berakhir pada tanggal 5 juli 1959 bersamaan dengan pemberlakuan kembali UUD 1945.
          Pada masa berlakunya Demokrasi Parlementer (1945-1959), kehidupan politik dan pemerintahan tidak stabil,sehingga program pembangunan dari suatu pemerintahan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan berkeseimbangan. Salah satu penyebab ketidakstabilan tersebut adalah sering bergantinya pemerintahan yang bertugas sebagai pelaksana pemerintahan. Suatu pertanyaan Mengapa dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintahan sering diganti ? Hal ini terjadi karena dalam negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer,kedudukan negara berada di bawah DPR dan keberadaanya sangat tergantung pada dukungan DPR,dan pemerintahan lain adalah timbulnya perbedaan pendapat yang sangat mendasar di antara partai politik yang ada saat itu.
Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
a. dominannya partai politik
b. landasan sosial ekonomi yang masih lemah
c. tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950

atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
1) Bubarkan konstituante
2) Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUDS 1950
3) Pembentukan MPRS dan DPAS

2. Demokrasi Terpimpin
          Kegagalan konstituante dalam menetapkan UUD baru, yang diikuti suhu dan situasi politik yang memanas dan membahayakan keselamatan bangsa dan negara, maka pada tanggal 5 juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit presiden dipandang sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Untuk mencapai hal tersebut, di negara kita saat itu digunakan demokrasi terpimpin. Mengapa lahir demokrasi terpimpin? Demokrasi terpimpin lahir dari keinsyafan, kesadaran, dan keyakinan terhadap keburukan yang diakibatkan oleh praktik demokrasi parlementer (liberal) yang melahirkan terpecahnya masyarakat, baik dalam kehidupan politik maupun dalam tatanan kehidupan ekonomi.
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
a. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan
b. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
c. Jaminan HAM lemah
d. Terjadi sentralisasi kekuasaan
e. Terbatasnya peranan pers
f. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)
g. Terjadinya peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI
h. Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden.
i. Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR.
j. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
k. Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.
l. Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.
m. Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle).
n. Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia.
o. Adanya ajaran RESOPIM. Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.

3. Demokrasi Pancasila pada Era Orde Baru
          Latar belakang munculnya demokrasi pancasila adalah adanya berbagai penyelewengan dan permasalahan yang dialami bangsa Indonesia pada masa berlakunya demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin. Kedua jenis demokrasi tersebut tidak cocok diterapkan di Indonesia yang bernapaskan kekeluargaan dan gotong royong. Sejak lahirnya orde baru, diberlakukan demokrasi pancasila sampai saat ini. Secara konseptual, demokrasi pancasila masih dianggap dan dirasakan paling cocok diterapkan di Indonesia. Demokrasi pancasila bersumberkan pada pola pikir dan tata nilai sosial budaya bangsa Indonesia, dan menghargai hak individu yang tidak terlepas dari kepentingan sosial.
          Demokrasi pancasila mengandung arti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah di sertai rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat manusia, haruslah menjamin persatuan dan kesatuan bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Jadi, Demokrasi pancasila berpangkal dari kekeluargaan dan gotong royong. Semangat kekeluargaan itu sendiri sudah lama dianut dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, khususnya di masyarakat pedesaan.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
a. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
b. Rekrutmen politik yang tertutup
c. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
d. Pengakuan HAM yang terbatas
e. Tumbuhnya KKN yang merajalela
f. Pada tahun 1960 presiden membubarkan DPR hasil pemilu, sedangkan dalam penjelasan UUD ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR
g. Penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan tidak adil.
h. Pengekangan kebebasan berpolitik bagi pegawai Negeri Sipil (PNS) kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang tidak mandiri / tidak independen karena para hakim adalah anggota PNS Departemen Kehakiman
i. Kurangnya jaminan kebebasan mengemukakan pendapat.
j. Sistem kepartaian yang tidak otonomi dan berat sebelah.
k. Maraknya praktik kolusi ,korupsi dan nepotisme diberbagai bidang
l. Menteri-menteri dan Gubernur diangkat menjadi anggota MPR
m. Organisasi sosial dipegang/dipangku oleh para pejabat birokrasi.

4. Demokrasi pada Era Reformasi
          Reformasi suatu orde untuk melakukan perubahan untuk demokratisasi dalam segala bidang kehidupan, diantara bidang kehidupan yang menjadi sorotan utama adalah dibidang politik, ekonomi, hukum. Perubahan yang terjadi pada era orde reformasi ini adalah dilakukakan secara bertahap, oleh karena konsep reformasi tidak sama dengan konsep revulosi yang berkonotasi suatu perubahan total dan mendasar pada semua sektor atau komponen dalam suatu sistem politik yang mengarah kepada sistem kekerasan.
          Menurut Hutington bahwa reformasi mengandung suatu arti “perubahan yang mengarah pada persamaan politik Negara,ekonomi lebih merata,perluasan basis partisipasi politik rakyat”Reformasi yang dilaksanakan di Negara kita Indonesia sasaran utamanya adalah suatu upaya meningkatkan partisipasi politik rakyat dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Masalah pada saat demokrasi reformasi sangat beragam, atara lain:
a. Institusi-institusi demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh kalangan elite; sementara para aktivis pro-demokrasi yang dulu merebutnya dari Orde Baru tetap berada pada posisi marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk demokrasi elitis – untuk tidak menyebutnya oligarki liberal;
b. Korupsi terus tidak tertanggulangi, bahkan makin merajalela sampai ke tingkat lokal. Sementara desentralisasi berpotensi menyebabkan munculnya kekuasaan bos-lokal yang pada gilirannya berpotensi menjadi kaki-tangan berbagai kekuatan sentralistis yang berada di Jakarta, Tokyo, New York, London dan pusat-pusat kekuasaan ekonomi politik.
c. Depolitisasi masyarakat sipil masih terus berlangsung dengan menguatnya suasana anti-politik yang terus meluas. Partisipasi memang tumbuh subur, tetapi perluasan partisipasi tampaknya tidak berbanding lurus dengan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan rakyat banyak menikmati sumber-sumber daya politik dan ekonomi.

C. Penyelesaian dari Kasus Penyimpangan Demokrasi
          Berikut ini merupakan berbagai cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi penyimpangan demokrasi.
1. Presiden sebagai lembaga eksekutif, haruslah kuat dan berani untuk membuat keputusan dan menjalankan kebijakannya. Apapun resikonya, walaupun presiden tersebut berasal dari partai politik namun setelah menjalankan tugasnya sebagai kepala negara maka presiden harus mendahulukan kepentingan rakyatnya serta mampu mengatasi dan menyelesaikan masalahnya secara mandiri tanpa harus di-“setir” oleh partai.
2. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat haruslah benar-benar bersih tanpa ada campur tangan dari pihak yang ingin mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya, sehingga dapat menciptakan demokrasi yang pro rakyat.
3. Partai politik sebagai salah satu alat penjamin kebebasan rakyat dalam bersuara dan menyampaikan aspirasi haruslah berfungsi sebagaimana mestinya. Bukan menjadi sarana meraih kekuasaan apalagi untuk mementingkan kepentingan partai itu sendiri.
4. Setiap kepala negara punya caranya masing-masing untuk mengatur dan membawa negara yang dipimpinnya tersebut. Sebagai rakyat, sudah selayaknya kita turut serta berpartisipasi dalam membangun dan mewujudkan negara ini menjadi lebih baik. Bukan bertindak sebagai inhibitor yang hanya bisa menuntut, mengompori, dan membuat kerusuhan yang tidak beralasan.
5. Birokrasi sebagai wilayah eksekusi kebijakan haruslah bersifat netral tanpa ada campur tangan politik. Sehingga setiap kebijakan yang dilaksanakan pun murni memihak rakyat bukan memihak partai politik.
6. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terpisah-pisah bukan berarti rasa nasionalisme dan kebangsaannya pun turut terpisah-pisah, justru kita harus semakin bersatu sehingga dapat tercipta ketahananan nasional yang kuat.

Sumber :

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengolahan Limbah pada PT Sinar Sosro

14 Asas Ilmu Lingkungan

Yuk, Jelajah Legenda lewat Pasanggiri Mojang Jajaka Jawa Barat 2016!